Kamis, 16 Agustus 2012

Manusia


            Manusia adalah makhluk yang berada dalam relasi (Habl) dengan Tuhan (Habl min Allah), relasi dengan sesama manusia (Habl min an-nas) dan relasi dengan alam (Habl min al-alam). Itulah ciri ras nabi Adam a.s. sebagai ras Homo sapiens dan merupakan pengertian manusia secara sains.
            Sedangkan dalam Al-Qur’an, secara umum ada tiga kata yang biasa diartikan sebagai manusia, yaitu al-basyar, an-nas dan al-insan. Kecuali itu, kata lain juga banyak digunakan terutama berupa kata ganti untuk manusia dalam berbagai bentuknya. Jika kita ingin mengungkapkan perspekstif Al-Qur’an tentang manusia, kita harus mengkaji semua istilah tersebut dan istilah lain yang berhubungan dengannya.
            Suatu keistimewaan Al-Qur’an adalah bahwa ketika menjelaskan aspek tertentu tentang manusia, selalu menggunakan kosakata untuk menyebut manusia itu sesuai dengan aspek pembicaraannya. Oleh karena itu, kita harus meneliti dengan jeli aspek apa yang sedang dibicarakan Al-Qur’an sehingga pilihan kosakata tertentu digunakan pada konteks pembicaraan itu.
            Menurut buku Paradigma Psikologi Islam (Studi tentang Elemen Psikologi dari Al-Qur’an), sekurang-kurangnya ada tiga kelompok istilah yang digunakan Al-Qur’an dalam menjelaskan manusia secara totalitas, baik fisik maupun psikis.
Pertama           : Kelompok kata al-basyar
Kedua             : Kelompok kata al-insan, al-ins, an-nas dan al-unas
Ketiga             : Kata Bani Adam
Suatu hal yang perlu disadari bahwa perbedaan istilah tersebut bukanlah menunjukkan adanya inkonsistensi atau kontradiksi uraian Al-Qur’an tentang manusia, tetapi justru keistimewaan karena Al-Qur’an mampu meletakkan suatu istilah yang tepat sesuai dengan sisi pandang atau penekanan yang sedang menjadi fokus pembicaraannya. Berikut penjelasannya.

1.        Al-Basyar
Secara bahasa (lugawi, lesikal) al-basyar berarti fisik manusia. Jadi al-basyar adalah gambaran manusia secara materi, yang dapat dilihat, memakan sesuatu, berjalan dan berusaha untuk memenuhi kebutuhannya. Makna ini disimpulkan dari berbagai uraian mengenai ini. Diantaranya adalah uraian Abu al-Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariya dalam Mu’jam al-Maqayis fi al-Lugah. Ia menjelaskan bahwa semua kata yang huruf-huruf asalnya terdiri dari ba, syin dan ra’, berarti sesuatu yang tampak jelas dan biasanya cantik dan indah.
Manusia dalam pengertian ini disebutkan 35 kali dalam berbagai surah. Dari pengertian-pengertian tersebut, 25 kali berbicara tentang “kemanusiaan” para rasul dan nabi, 10 ayat menggambarkan polemik para rasul dan nabi dengan orang-orang kafir, yang isinya keengganan orang-orang kafir terhadap apa yang dibawa oleh para rasul dan nabi, karena menurut mereka para rasul itu adalah manusia seperti mereka juga.
Allah SWT. Berfirman yang artinya:
  
2. Tidak datang kepada mereka suatu ayat Al Quran pun yang baru (di-turunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main,
3. (lagi) hati mereka dalam Keadaan lalai. dan mereka yang zalim itu merahasiakan pembicaraan mereka: "Orang ini tidak lain hanyalah seorang manusia (jua) seperti kamu, Maka Apakah kamu menerima sihir itu, Padahal kamu menyaksikannya? (QS. Al-Anbiya [21])
Manusia dalam pengertian basyar ini dapat pula dilihat antara lain dalam surah Ibrahim ayat 10, Hud ayat 26, al-Mukminun ayat 24 dan 33, Asy-Syuara ayat 154, Yasin ayat 15 dan Al Isra ayat 93.

2.        Al-Insan, Al-Ins, An-Nas dan Al-Unas
Kata al-insan, menurut Ibnu Mansur mempunyai tiga asal kata.
Pertama, berasal dari kata anasa yang berarti abara yaitu melihat, ‘alima yang berarti mengetahui dan istilah “an” yang berarti meminta izin.
Kedua, berasal dari kata nasiya yang berarti lupa.
Ketiga, berasal dari kata an-nus yang berarti jinak, lawan dari kata al-wakhsyah yang berarti buas.
     Berbeda dari cara Ibnu Mansur yang berusaha menguraikan makna dari yang pokok menuju makna spesifik, Ibnu Zakariya mencari makna yang umum dari berbagai makna spesifik. Menurutnya, semua kata yang kata asalnya terdiri dari huruf-huruf alif, nun dan sin mempunyai makna asli jinak, harmonis dan tampak dengan jelas.
     Dalam Al-Qur’an, kata an-nas terdapat sebanyak 240 kali dengan keterangan yang jelas menunjukkan pada jenis keturunan Nabi Adam a.s. Misalnya dalam firman Allah berikut yang artinya:
Ÿ  
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat [49] : 13)
Manusia juga sering disebut al-ins atau al-insan. Kata al-ins dan al-insan dalam pengertian bahasa merupakan lawan dari “binatang liar”. Dalam Al-Qur’an, sekalipun mempunyai akar kata yang sama, kedua kata tersebut mempunyai pengertian yang berbeda dan mempunyai keistimewaan yang berbeda pula. Dalam Al-Qur’an, kata al-ins senantiasa dipertentangkan dengan al-jinn (jin).
     Kata al-insan bukan berarti basyar saja dan bukan pula dalam pengertian al-ins. Dalam pemakaian Al-Qur’an, al-insan mengandung pengertian makhluk mukalaf (dibebani tanggung jawab) pengemban amanah dan khalifah Allah SWT. di muka bumi.

3.        Bani Adam
Secara bahasa, bani adalah bentuk jamak dari kata ibnun yang berarti anak. Bentuk dasarnya adalah banun atau banin, tetapi karena berada pada posisi muaf (diterangkan), huruf wau dan nun pada kata banun tersebut harus dihilangkan sehingga menjadi kata bani.
     Istilah bani Adam dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak tujuh kali, masing-masing dalam tujuh ayat dan tiga surah. Berdasarkan konteks pembicaraan masing-masing ayat tersebut dapat dijelaskan bahwa terdapat tiga ayat yang membicarakan tentang keharusan manusia memakai pakaian yang berguna untuk memperindah tubuh dan menutup aurat. Sedangkan tiga ayat lainnya, istilah bani Adam dihubungkan dengan pembicaraan tentang keimanan dan penjelasan tentang musuh utama, yaitu setan (syaitan). Dalam ayat ini diterangkan bahwa manusia sejak sebelum lahir telah mengenal kalimat tauhid.
     Selanjutnya, dalam satu ayat ditegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang diberi kelebihan yang dapat menguasai daratan dan lautan. Dari keseluruhan ayat yang menggunakan kata bani Adam dapat dipahami bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki kelebihan dan keistimewaan dibandung makhluk lainnya, Keistimewaan itu meliputi fitrah keagamaan, peradaban dan kemampuan memanfaatkan alam. #gap (Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazali, Perjalanan Akbar Ras Adam)

Syafiah, dkk. 2009. Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazali. Jakarta: Hikmah (PT. Mizan Publika).
Sudarmojo, Agus Haryo. 2009. Perjalanan Akbar Ras Adam. Bandung: Mizania.
»»  READMORE...

Tanah Air Ku Indonesia

Lihatlah kau lihatlah Oh tanah airku
Gunung - gunung menjulang lautannya biru
Sawah ladang membentang irama desaku

Burung - burung pun menyanyi
Damai dan lestari
Indah nian Negriku ini
Tiada terperi

Negara yang kaya raya
Kaya alamnya kaya budayanya
Bermacam suku dan bangsa
Bersatu dalam bahasa

Nusantara
Adalah nama panggilannya
Untaian pulau dan nusa
Terbentang di khatulistiwa

Karya : Gitta Agnes Putri Tahun 2007
»»  READMORE...

Rabu, 15 Agustus 2012

Kebijakan Desentralisasi Pendidikan


BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Pada masa belakangan ini, keadaan dunia senantiasa berubah terus. Perubahan tersebut berlangsung cepat, menyeluruh, mendalam dan serba tak terduga. Kehidupan yang sebelumnya statis dan senantiasa berlangsung secara alami sebagaimana pada era-era sebelumnya, harus berubah menjadi dinamis dan selalu diikhtiarkan serta penuh penyesuaian-penyesuaian. Bahkan tidak itu saja, agar tidak terlindas oleh arus perubahan diperlukan lompatan-lompatan yang sebelumnya mungkin tak pernah terpikirkan.
Melihat perubahan demikian, maka bangsa manapun di dunia ini tidak akan pernah maju bila mengabaikan pembangunan pendidikan. Pembangunan pendidikan merupakan kunci dan pilar utama dari sektor-sektor lainnya. Mengabaikan sektor pembangunan pendidikan berdampak besar kepada sektor-sektor lainnya pula. Bangsa yang maju tentunya lebih menomorsatukan pembangunan pendidikan. Banyak contoh yang dapat menjadi perbandingan dan perenungan bagi kita, seperti halnya negara-negara Eropa, Amerika, bahkan negara serumpun Malaysia dan Singapura lebih menitikberatkan anggaran pembangunannya untuk sektor pendidikan.
Sejak awal kemerdekaan Indonesia hingga tahun 2000, sistem pemerintahan dan pembangunan dalam berbagai bidang termasuk bidang pendidikan menggunakan paradigma sentralisasi, bahwa pemerintah pusat mendominasi proses perencanaan, implementasi dan evaluasi kinerja pemerintahan dan pembangunan. Pemerintah pusat menjadi pemain utama yang menentukan orientasi dan tujuan berbagai kebijakan pendidikan.
Setelah mengalami krisis multidimensi yang sangat serius dan berkepanjangan, muncullah gerakan reformasi yang sangat kritis terhadap paradigma sentralisasi dan pada saat yang sama juga sangat yakin bahwa solusi dari berbagai persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah dengan menerapkan paradigma desentralisasi dalam sistem pemerintahan dan pembangunan. Diyakini bahwa penerapan pola sentralistik telah membuat roda pemerintahan dan pembangunan berjalan kurang efektif dan efisien; rawan kebocoran; menimbulkan ketimpangan dan ketidakadilan regional; memaksa keseragaman; mematikan potensi dan karakteristik daerah; menyulitkan quality control (pengawasan mutu) dan quality assurance (jaminan mutu); mematikan kreativitas pemerintah daerah dan menghambat partisipasi masyarakat.
Para penganjur reformasi meyakini bahwa sistem pemerintahan dan pembangunan desentralistik dapat membantu bangsa Indonesia memperbaiki mutu, menghidupkan kreativitas pemerintah daerah, mendorong partisipasi masyarakat, meningkatkan efisiensi administrasi dan keuangan, memperbaiki stabilitas dan legitimasi politik, mewujudkan keseimbangan regional, mengembangkan variasi dan diversifikasi program pembangunan serta mewujudkan pemerataan. Mereka sangat yakin bahwa penerapan paradigma desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan akan dapat mendorong terjadinya perubahan ke arah yang lebih baik dan membawa bangsa Indonesia keluar dari krisis berkepanjangan yang melanda.
Tilaar bahkan mempertegas bahwa desentralisasi pendidikan merupakan suatu keharusan. Menurutnya, ada tiga hal yang berkaitan dengan urgensi desentralisasi pendidikan, yaitu: (a) pembangunan masyarakat demokrasi (b) pengembangan social capital; dan (c) peningkatan daya saing bangsa. Ketiga hal yang berkaitan dengan urgensi desentralisasi pendidikan itu sudah lebih dari cukup untuk dijadikan alasan mengapa desentralisasi pendidikan harus dilakukan oleh bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, diperlukan kerjasama dari berbagai pihak agar penerapan paradigma desentralisasi dalam penyelenggaraan pendidikan dapat terlaksana sesuai dengan harapan bangsa Indonesia.

1.2    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut dapat diambil  permasalahan sebagai berukut:
1.         Bagaimanakah konsep dasar dari desentralisasi pendidikan?
2.         Apa sajakah kekuatan dan kelemahan dari desentralisasi pendidikan di Indonesia?
3.         Mengapa masih terdapat beberapa daerah (pemerintahan provinsi/kota/kabupaten) yang belum siap menerima desentralisasi pendidikan?
4.         Bagaimana pemerintahan provinsi/kota/kabupaten menyikapi kebijakan desentralisasi pendidikan?
5.         Apakah dampak yang ditimbulkan dari desentralisasi pendidikan?

1.3    Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:
1.      Mendeskripsikan konsep-konsep mendasar dari desentralisasi pendidikan.
2.      Menganalisis kekuatan dan kelemahan dari desentralisasi pendidikan di Indonesia.
3.      Menjelaskan berbagai kemungkinan atau alasan yang menyebabkan daerah tertentu belum siap menerima desentralisasi pendidikan.
4.      Mendeskripsikan berbagai sikap yang direpresentasikan oleh pemerintah daerah dengan adanya desentralisasi.
5.      Menjelaskan dampak-dampak apa saja yang ditimbulkan dari desentralisasi pendidikan.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Konsep Dasar Desentralisasi Pendidikan
Menurut Bray (1984:5), desentralisasi adalah “proses ketika tingkat-tingkat hierarki di bawahnya diberi wewenang oleh badan yang lebih tinggi untuk mengambil keputusan tentang penggunaan sumber daya organisasi.” Adapun menurut Burnett et al (1995), desentralisasi pendidikan adalah “otonomi untuk menggunakan input pembelajaran sesuai dengan tuntutan sekolah dan komunitas lokal yang dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tua dan komunitas.” Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, desentralisasi adalah “penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Dilihat dari sasarannya, desentralisasi pendidikan bisa bersifat politik atau demokratik dan bisa juga bersifat administratif (Fiske dan Drost 1998:17-19). Desentralisasi pendidikan bersifat politik atau demokrasi manakala penyerahan kekuasaan untuk membuat keputusan tentang pendidikan diberikan oleh pemerintah kepada rakyat atau wakil-wakilnya di tingkat pemerintahan yang lebih rendah, di dalam dan di luar sistem. Desentralisasi administrasi atau birokrasi merupakan suatu strategi manajemen bahwa kekuasaan politik tetap berada di tangan pejabat-pejabat pusat tetapi tanggung jawab dan wewenang untuk perencanaan, manajemen, keuangan dan kegiatan-kegiatan lainnya diserahkan pada pemerintah di tingkat-tingkat yang lebih rendah atau badan-badan semi otonom yang berada di dalam sistem.
Dilihat dari jenis wewenang yang diberikan, desentralisasi dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu dekonsentrasi, delegasi, dan devolusi (Fiske dan Drost 1998:17-19). Dekonsentrasi adalah bentuk terlemah dari desentralisasi karena tidak lebih dari sekedar memindahkan tanggung jawab manajemen dari pusat ke provinsi atau tingkat-tingkat yang lebih rendah sedemikian rupa sehingga pemerintah pusat tetap mempunyai kontrol penuh. Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dekonsentrasi adalah “pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.” Delegasi adalah jenis desentralisasi dalam bentuk yang lebih ekstensif, dimana lembaga-lembaga pusat meminjamkan wewenang ke pemerintah di tingkat-tingkat yang lebih rendah atau bahkan ke organisasi-organisasi otonom. Devolusi adalah bentuk desentralisasi yang paling besar pengaruhnya, yakni menyerahkan wewenang keuangan, administrasi atau urusan pedagogi secara permanen dan tidak dapat dibatalkan secara tiba-tiba oleh pejabat di pusat begitu saja.
Desentralisasi pendidikan mempunyai tujuan utama, yaitu untuk meningkatkan mutu pendidikan. Ada semacam konsensus global, khususnya di kalangan negara berkembang, bahwa melakukan desentralisasi adalah cara terbaik untuk meningkatkan mutu pendidikan. Karena mutu pendidikan ditentukan oleh banyak faktor yang saling terkait, maka desentralisasi pendidikan melibatkan pendelegasian pengambilan keputusan tentang beberapa faktor.
Menurut Burki et al. (1999:57), ada empat jenis keputusan pendidikan yang dapat didesentralisasikan, yaitu menyangkut organisasi pembelajaran, manajemen personil, perencanaan dan struktur, serta sumber daya. Rincian dari masing-masing jenis keputusan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
1.    Organisasi pembelajaran



2.    Manajemen personil




3.    Perencanaan dan struktur




4.    Sumber daya
Waktu pembelajaran
Pilihan buku teks
Isi kurikulum
Metode mengajar
Pengangkatan dan pemecatan kepala sekolah
Pengangkatan dan pemecatan guru
Penentuan dan penambahan gaji guru
Penentuan tanggung jawab guru
Penentuan pemberian in-service training
Mendirikan dan menutup sekolah
Memilih program sekolah
Mendefinisikan materi pembelajaran
Merancang ujian untuk memonitor performa sekolah
Pengembangan perencanaan perbaikan sekolah
Pengalokasian anggaran personil
Pengalokasian anggaran nonpersonil
Pengalokasian sumber daya untuk in-service training
Sumber: Burki et al. (1999:57).

2.2    Kekuatan dan Kelemahan Desentralisasi Pendidikan di Indonesia
Kekuatan desentralisasi pendidikan adalah:
1.      Sudah merupakan kebijakan populis;
2.      mendapat dukungan yang kuat dari berbagai pihak, khususnya dari para wakil rakyat yang menduduki kursi DPR-RI;
3.      sebagai hal yang telah lama ditunggu-tunggu menyusul adanya perubahan sosial politik;
4.      kesiapan anggaran yang cukup dengan ditetapkannya anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN tahun 2003.
Oleh karena merupakan kebijakan yang populis, maka desentralisasi pendidikan pasti didukung oleh berbagai lapisan masyarakat, khususnya masyarakat pendidikan di daerah. Kekuatan lain yang juga sangat mendukung bagi lahirnya kebijakan ini adalah dukungan dari pihak legislatif. Kekuatan lainnya adalah kesadaran yang tinggi dari masyarakat untuk menghadapi perubahan. Termasuk dalam hal ini adalah kesadaran masyarakat menyikapi desentralisasi pendidikan. Anggota masyarakat sangat dituntut partisipasinya dalam menjalani perubahan tersebut.
Kekuatan yang tidak kalah pentingnya adalah dukungan dana anggaran pendidikan yang cukup tinggi dibandingkan anggaran sebelumnya yaitu kurang dari 4%. Kita berharap anggaran pendidikan yang disepakati 20% dari APBN dijadikan prioritas utama sebelum penganggaran bidang lainnya.
Sedangkan kelemahan yang mungkin timbul dalam implementasi desentralisasi pendidikan melalui UU Otonomi Daerah adalah:
1.      Kurang siapnya SDM daerah terpencil;
2.      tidak meratanya Pendapatan Asli Daerah (PAD), khususnya daerah-daerah miskin;
3.      mental korup yang telah membudaya dan mendarah daging;
4.      menimbulkan raja-raja kecil di daerah surplus;
5.      belum jelasnya pos-pos pendidikan, sehingga akan cukup merepotkan Depdiknas dalam mengalokasikannya. Sehingga akan menguntungkan departemen-departemen lain yang mengelola pendidikan atau pelatihan, padahal departemen lain telah memperoleh dana dari APBN. Sementara itu, hasilnya masih diragukan karena ditangani bukan oleh para ahli/profesional pendidikan.

2.3    Faktor Ketidaksiapan Daerah Menerima Desentralisasi
Berbagai kemungkinan yang menyebabkan daerah tertentu belum siap menerima desentralisasi pendidikan adalah:
a.         Sumber Daya Manusia (SDM) belum memadai. Maksud SDM yang kurang yaitu berhubungan dengan kuantitas dan juga kualitas. Terdapat daerah tertentu yang kualitas SDM-nya belum dapat memahami, menganalisis dan mengaplikasikan konsep desentralisasi pendidikan dengan baik. Demikian pula halnya yang berkaitan dengan kuantitas atau jumlah SDM yang ada. Daerah tertentu melihat bahwa dari segi jumlah SDM mereka masih sangat terbatas. Kalaupun ada yang telah menyelesaikan program magisternya, jumlahnya tidak mencukupi atau tidak memadai.
b.         Sarana dan prasarana belum tersedia secara cukup dan memadai. Hal ini berhubungan erat dengan ketersediaan dana yang ada di setiap daerah. Selama ini mungkin daerah-daerah tertentu asyik dan terlena dengan sistem dropping yang diterapkan oleh pemerintah pusat. Mereka sangat terkejut ketika tiba-tiba memperoleh kewenangan untuk mengelola secara mandiri sebagian besar urusan pendidikan di daerahnya. Untuk itu, mereka belum siap dengan segala bentuk sarana dan prasarana yang diperlukan. Jika dalam waktu singkat mereka dipersyaratkan untuk melengkapi segala sarana dan prasarana tersebut, mereka akan mengalami kesulitan besar, kecuali jika pemerintah pusat masih bersedia membantu atau menyediakan segala bentuk sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan kebijakan desentralisasi pendidikan tersebut.
c.         Anggaran Pendapatan Asli Daerah (PAD) mereka sangat rendah. Beberapa daerah yang selama ini kita kenal dengan daerah tertinggal, merasa keberatan untuk langsung menerima beban kewenangan kebijakan desentralisasi pendidikan ini. Pembiayaan pembangunan yang mereka lakukan selama ini banyak ditunjang oleh pusat atau provinsi. Pendapat Asli Daerah (PAD) mereka tergolong masih sangat rendah. Oleh karena itu jika memungkinkan, mereka masih berharap dapat diberi kesempatan untuk menunda pengimplementasian kebijakan tersebut di daerah mereka. Bila memungkinkan, mereka dapat bekerja sama dengan pemerintah daerah lainnya yang memiliki PAD yang lebih besar, yang membuat mereka bisa mendapatkan sistem subsidi silang.
d.        Secara psikologis, mental mereka belum siap menghadapi sebuah perubahan. Perubahan merupakan sebuah keniscayaan. Namun, tidak semua orang memiliki pandangan dan sikap yang sama terhadap sebuah perubahan. Sebagian di antara mereka melihat perubahan sebagai sesuatu yang samar-samar, tidak jelas, tidak pasti, bahkan sesuatu yang mengkhawatirkan. Hal ini tidak tertutup akan terjadi pada sebagian aparat atau masyarakat di daerah tertentu. Ketakutan akan masa depan yang diakibatkan oleh perubahan yang terjadi, membuat mereka tidak siap secara mental menghadapi perubahan tersebut.
e.         Takut terhadap upaya pembaruan. Salah satu bentuk perubahan yang sering dipakai yaitu upaya pembaruan. Pembaruan dalam bidang pendidikan saat ini kita kenal dengan sebutan pembaruan kurikulum. Setiap kali terjadi pembaruan kurikulum, para guru kembali disibukkan dengan berbagai kegiatan, seperti penataran, uji coba model, uji coba mekanisme, sosialisasi kurikulum dan sebagainya. Semuanya itu dapat ditangkap oleh sebagian personil guru kita sebagai sebuah ‘malapetaka’ atau setidaknya menjadi beban yang cukup berat bagi mereka.

2.4    Sikap Daerah Terhadap Desentralisasi Pendidikan
Berbagai sikap yang direpresentasikan oleh beberapa pemerintah daerah dalam menghadapi implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan, diantaranya adalah sebagai berikut:
a.         Sebagian di antara mereka menunjukkan kegembiraan karena hal itu sudah lama mereka tunggu-tunggu.
b.         Ada pula yang menyikapi kebijakan itu dengan biasa-biasa saja. Mereka mengganggap konsep desentralisasi merupakan sebuah konsekuensi dari perubahan sistem politik atau pemerintahan.
c.         Sikap lain yang dapat dibaca dari masyarakat Indonesia yaitu sikap pesimistis. Mereka mengganggap kebijakan tersebut sebagai wujud ketidakberdayaan pemerintah pusat dalam mengelola masyarakat daerah.
d.        Sikap skeptis yang ditunjukkan oleh sebagian pemerintah daerah atau masyarakat memperlihatkan ketidakpercayaan mereka akan maksud baik pemerintah pusat. Mereka melihat dan masih membaca adanya keinginan-keinginan tersembunyi dari pemerintah pusat. Mereka juga masih merasakan ketidak-ikhlasan pemerintah pusat dalam melepaskan sebagian wewenangnya kepada pemerintah daerah.
e.         Sikap lain yang diperlihatkan oleh sebagian pemerintah daerah yaitu sikap khawatir dan rasa takut. Hal ini dilakukan karena berkaitan dengan ketersediaan dana, prasarana dan sarana yang kurang mereka miliki. Apabila hal ini dipaksakan pada daerah mereka, hanya akan menambah banyak orang yang kurang bahagia. Rasa takut ini juga berhubungan dengan ketidakyakinan mereka akan kemampuan mereka dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut.

2.5    Dampak Desentralisasi Pendidikan
Dampak positif yang ditimbulkan dari adanya desentralisasi pendidikan adalah:
a.         Membawa pengaruh positif bagi prestasi siswa karena penerapan paradigma ini dalam sistem penyelenggaraan pendidikan dapat meningkatkan kualitas dan efisiensi kegiatan pendidikan. Menurut Perris (1998), reformasi administrasi adalah salah satu prakondisi yang diperlukan untuk memperbaiki kinerja manajemen sekolah dan meningkatkan prestasi siswa. Sekolah-sekolah yang memiliki otonomi lebih besar dalam hal mengangkat, mengevaluasi dan memonitor guru dapat meningkatkan prestasi siswa.
b.         Menurut Burki et al (1999:61-62), desentralisasi mendorong berkembangnya proses seleksi yang lebih kompetitif dalam pengangkatan guru dan kepala sekolah. Menurut mereka, guru-guru yang baik biasanya memberikan perhatian yang besar terhadap kegiatan pembelajaran. Mereka mematok tujuan dan standar yang tinggi sehingga melalui berbagai cara dapat menumbuhkan pengajaran yang baik.
c.         Desentralisasi dapat memfasilitasi dan memperkuat fokus guru-guru pada kegiatan belajar siswa dengan cara menyajikan informasi yang dibutuhkan dalam menilai problematika belajar, memberikan pilihan pedagogi yang tepat untuk sekolah dan mengalokasikan sumber daya ke sekolah-sekolah yang memiliki kebutuhan khusus.
Sedangkan dampak negatif yang ditimbulkan dari adanya desentralisasi pendidikan adalah:
a.         Kemungkinan daerah akan memanfaatkan kondisi yang ada untuk mendapatkan atau memperoleh pendapatan daerah. Tentu saja hal ini sangat riskan dilakukan karena berhubungan langsung dengan masyarakat atau rakyat kecil yang semestinya mendapatkan pendidikan gratis dari pemerintah.
b.         Desentralisasi pendidikan ini memberi peluang kekuasaan yang cukup kuat dan besar bagi para kepala dinas pendidikan. Hal ini membuka peluang bagi terciptanya raja-raja kecil di daerah, khususnya ketika kontrol pemerintah provinsi dan pusat tidak lagi berperan dalam pengambilan keputusan. Dengan demikian, para kepala dinas pendidikan pemerintahan kota atau kabupaten tersebutlah yang secara individu memiliki kekuasaan dan kewenangan dalam pengambilan keputusan decision making.
c.         Kebijakan ini juga ada kemungkinan akan menimbulkan jurang yang semakin lebar antara si kaya dan si miskin. Hal ini bisa terjadi karena daerah-daerah dengan PAD besar akan memberikan porsi dana pendapatannya itu untuk kesejahteraan guru-gurunya. Sementara daerah lainnya tidak mungkin melaksanakannya. Hal itu dapat terjadi karena mereka tidak memiliki dana yang cukup besar untuk menambah insentif bagi para guru mereka.
d.        Desentralisasi pendidikan ini juga bisa berdampak negatif terhadap pemerataan pendistribusian tenaga guru. Dengan kata lain, daerah-daerah kaya akan menyedot tenaga guru yang berkualitas, sekaligus secara kuantitas guru-guru itu akan berkumpul di daerah yang kaya itu. Bagaimana halnya dengan daerah-daerah yang PAD-nya sangat kecil? Mereka akan ditinggalkan oleh guru-guru mereka. Akhirnya tempat-tempat tertentu di Indonesia ini akan kelebihan tenaga guru, sementara daerah lainnya akan mengalami kekurangan tenaga guru.
e.         Ada juga yang mengatakan bahwa desentralisasi ini hanya akan memindahkan praktik-praktik kotor Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dari pusat ke daerah. Praktik KKN di bidang pendidikan yang selama ini banyak dilakukan oleh para penguasa orde baru, ada kemungkinan akan bergerak secara perlahan, tetapi pasti menuju daerah-daerah yang kaya. Bila daerah-daerah tersebut membuka peluang untuk mereka menjalankan misi dan visi ‘maling’nya, tidak akan mustahil KKN akan menjadi semakin “sukes” berkembang di daerah tersebut.
f.          Selain penjelasan di atas, kita dapat juga memprediksi tentang kemungkinan beragamnya hasil belajar siswa. Hal ini disebabkan pembuatan silabus materi pembelajaran dibuat berdasarkan kebutuhan siswa, keadaan sekolah dan kondisi daerah. Perbedaan-perbedaan tersebut memberi kemungkinan terjadinya keberagaman hasil belajar siswa. Jika telah demikian, akan sulit bagi kita untuk mendapatkan angka-angka yang dapat berbicara dalam skala nasional. Pada akhirnya, kondisi ini akan mengarah pada tidak meratanya mutu/kualitas hasil belajar/tamatan siswa kita.
 
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1    Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa perubahan paradigma pendidikan nasional dari sentralisasi ke desentralisasi membawa implikasi politik yang sangat luas. Walaupun di atas kertas dan dalam retorika penyampaiannya sarat dengan semangat, nilai-nilai, kepentingan dan tujuan pendidikan, tetapi dalam realita perubahan paradigmanya sarat dengan nilai-nilai, kepentingan dan tujuan politik. Apabila aspek-aspek politik lebih didepankan daripada aspek-aspek pendidikan, maka desentralisasi pendidikan hanya akan menjadi “dagelan politik” yang tidak mengubah kinerja atau mutu pendidikan. Desentralisasi hanya akan menjadi status de jure, bukan status de facto sistem pendidikan nasional.
Desentralisasi pendidikan yang saat ini diterapkan dalam sistem pendidikan nasional cenderung mengambil bentuk dekonsentrasi, bahwa pemerintah daerah hanya menjadi perpanjangan tangan fungsi-fungsi manajemen milik pemerintah pusat. Berbagai keputusan fundamental dalam pendidikan dan nilai-nilai pendidikan yang tumbuh serta berkembang dalam sistem pendidikan nasional adalah nilai-nilai pendidikan milik pemerintah pusat, bukan milik pemerintah daerah.
Agar desentralisasi benar-benar menjadi status de facto sistem pendidikan nasional, maka bentuk desentralisasi yang diterapkan harus beralih dari dekonsentrasi ke delegasi atau devolusi. Dekonsentrasi tidak akan mampu meningkatkan mutu pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan dasar otonomi daerah, yaitu membangun kesetaraan politik, meningkatkan tanggung jawab lokal dan menumbuhkan sikap responsif di tingkat lokal, karena dekonsentrasi tidak memberikan kewenangan yang cukup kepada pemerintah daerah untuk mendesain, menerapkan dan mengembangkan sistem pendidikan yang memiliki keunikan dan keunggulan lokal. Dekonsentrasi tidak mampu menumbuhkan akuntabilitas di kalangan pengelola dan praktisi pendidikan di daerah, sebab tanggung jawab yang diberikan pada mereka hanyalah tanggung jawab semu yang tidak mungkin mendorong sikap kreatif, sensitif dan responsif di tingkat daerah.
Desentralisasi pendidikan di Indonesia juga memerlukan dukungan institusional. Salah satu prinsip dasar desentralisasi adalah bekerjanya institusi-institusi yang ada secara demokratis. Prinsip tersebut hanya dapat berjalan apabila masyarakat daerah sudah siap menerima nilai-nilai demokrasi dan telah bersedianya proses sosial dan politik yang memungkinkan anggota masyarakat berperan lebih besar dalam pengambilan kebijakan dan menuntut akuntabilitas institusi-institusi pendidikan yang ada di tingkat daerah.

3.2    Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, ada beberapa saran yang dapat diberikan oleh penulis, diantaranya sebagai berikut:
1.      Harus ada kerja sama dari seluruh stakeholders dalam implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan.
2.      Pemerintah secepatnya mengeluarkan keputusan presiden yang mengatur lebih jelas pelaksanaan tentang desentralisasi pendidikan.
3.      Pemerataan SDM, khususnya guru ke desa-desa terpencil dan miskin, dengan memberikan insentif yang memadai dan wajar.
4.      Pemerintah harus memprioritaskan bantuan dana kepada daerah-daerah tertinggal dan terpencil.





DAFTAR PUSTAKA

Chan, Sam. 2005. Analisis SWOT; Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Isjoni. 2006. Membangun Visi Bersama; Aspek-Aspek Penting dalam Reformasi Pendidikan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Siroji. 2005. Politik Pendidikan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.


»»  READMORE...