Kamis, 09 Agustus 2012

Menerapkan Disiplin pada Anak Prasekolah sebagai Pola Asuh Masa Kini


BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Usia prasekolah adalah usia yang rentan bagi anak. Pada usia ini, anak mempunyai sifat imitasi atau meniru terhadap apapun yang dilihatnya. Orang-orang dewasa yang paling dekat dengan anak adalah orang tua. Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak yang mempunyai pengaruh sangat besar. Haryoko (1997: 2) berpendapat bahwa lingkungan sangat besar pengaruhnya sebagai stimulans dalam perkembangan anak. Dan dalam hal ini, orang tua mempunyai peranan yang besar pula untuk pembentukan kepribadiannya.
Namun, semua perilaku serta kepribadian orang tua yang baik ataupun buruk selalu ditiru oleh anak tanpa disadari. Begitu lah kenyataan yang seringkali terjadi di masyarakat. Anak tidak mengerti apakah yang dilakukannya itu baik atau tidak. Karena anak usia prasekolah hanya belajar dari apa yang dia lihat saja. Oleh karena itu, pembelajaran tentang sikap, perilaku dan bahasa yang baik perlu diterapkan sejak dini agar terbentuk kepribadian anak yang baik pula.
Mengasuh anak usia prasekolah benar-benar merupakan tanggung jawab yang berat. Usia tersebut merupakan masa kritis bagi perkembangan kemampuan kognitif, kemandirian, koordinasi motorik, kreativitas dan barangkali yang terpenting adalah sikap positif terhadap hidup. Orang tua harus menjadi guru dan pembimbing yang penuh kasih bagi anak-anak mereka. Menciptakan suasana masa prasekolah yang menyenangkan bagi anak, tampaknya mendorong anak untuk menjadi orang yang suka belajar sepanjang hidupnya.
Masa prasekolah ini merupakan masa keemasan (golden age) bagi anak, yang sangat mempunyai arti penting dan berharga bagi dirinya. Sebab masa ini merupakan pondasi bagi masa depannya kelak. Pada masa ini, anak memiliki kebebasan untuk berekspresi tanpa adanya suatu aturan yang menghalangi dan membatasinya. Maka sangatlah dibutuhkan suatu pendidikan dari keluarga. Pendidikan dalam keluarga akan sangat berpengaruh pada perkembangan pribadi dan sosial anak. Kebutuhan yang diberikan melalui pola asuh akan memberikan kesempatan pada anak untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah sebagian dari orang-orang yang berada disekitarnya. Pendidikan yang tidak kalah pentingnya adalah kedisiplinan. Tujuan disiplin adalah mengarahkan anak agar mereka belajar mengenai hal-hal baik yang merupakan persiapan bagi masa dewasa, saat mereka sangat bergantung kepada disiplin diri. Diharapkan, kelak disiplin diri akan membuat hidup mereka bahagia, berhasil dan penuh kasih sayang.
Masa prasekolah inilah yang dianggap sebagai masa yang tepat untuk membentuk pribadi disiplin diri pada anak. Oleh karena itu, perlulah bagi orang tua untuk dapat menemukan cara yang tepat untuk mendidik dan menerapkan kedisiplinan pada anak tersebut.

1.2    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat diambil  permasalahan sebagai berikut:
1.         Bagaimanakah pola asuh yang baik bagi pembentukan kepribadian anak pada masa kini?
2.         Bagaimana pentingnya menerapkan disiplin pada anak prasekolah?
3.         Apa sajakah langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menerapkan disiplin pada anak?

1.3    Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:
1.      Mendeskripsikan pola asuh orang tua yang baik bagi pembentukan kepribadian anak pada masa kini.
2.      Menjelaskan pentingnya menerapkan disiplin pada anak prasekolah untuk membentuk karakter pribadi yang baik.
3.      Menjelaskan langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menerapkan disiplin pada anak prasekolah.




BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Penerapan Pola Asuh yang Baik bagi Pembentukan Kepribadian Anak
Anak adalah buah hati orang tua yang merupakan harapan masa depan. Oleh karena itu, anak harus dipersiapkan agar kelak menjadi sumber daya manusia yang berkualitas, sehat, bermoral dan berkepribadian yang baik dan berguna bagi masyarakat. Dan hal itu perlu dipersiapkan sejak dini. Anak sangat sensitif terhadap sikap lingkungannya dan orang-orang terdekatnya. Pola asuh yang diterapkan oleh orang tua sangat mempengaruhi kepribadian anak. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk mengetahui bagaimana cara mengasuh anak dengan baik sehingga terbentuklah kepribadian yang baik pula.
Kepribadian seorang anak terbentuk dengan melihat dan belajar dari orang-orang disekitarnya. Keluarga adalah orang yang terdekat bagi anak dan mempunyai pengaruh yang sangat besar. Segala perilaku orang tua yang baik dan buruk akan ditiru oleh anak. Oleh karena itu, orang tua perlu menerapkan sikap dan perilaku yang baik demi pembentukan kepribadian anak yang baik pula. Pola asuh yang baik untuk pembentukan kepribadian anak yang baik adalah pola asuh orang tua yang memprioritaskan kepentingan anak dan tidak lupa pula untuk mengendalikan anak tersebut.
Anak yang juga hidup dalam masyarakat akan bergaul dengan lingkungan dan tentunya akan  mendapatkan pengaruh-pengaruh dari luar yang mungkin dapat merusak kepribadian anak tersebut. Hal itulah yang diharapkan dapat dikendalikan oleh orang tua dengan menerapkan
sikap-sikap yang baik dalam keluarga dan menjadi contoh atau tauladan bagi anak.
Orang tua yang bisa dianggap teman oleh anak akan menjadikan kehidupan yang hangat dalam keluarga. Sehingga antara orang tua dan anak mempunyai keterbukaan dan saling memberi. Anak diberi kebebasan untuk mengemukakan pendapat, gagasan, keinginan dan perasaan serta kebebasan
untuk menanggapi pendapat orang lain. Anak-anak yang hidup dengan pola asuh yang demikian, akan menghasilkan karakteristik anak yang dapat mengontrol diri, anak yang mandiri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu menghadapi stres dan mempunyai minat terhadap hal-hal baru. Pengasuhan anak perlu disesuaikan dengan tahapan perkembangan
anak. Perkembangan anak dipengaruhi faktor bawaan dan pengaruh
lingkungan:
1.         Faktor bawaan
          Sifat yang dibawa anak sejak lahir seperti penyabar, pemarah, pendiam, banyak bicara, cerdas atau tidak cerdas. Sedangkan keadaan fisiknya seperti warna kulit, bentuk hidung sampai rambut. Faktor bawaan ini merupakan warisan dari sifat ibu dan bapak atau pengaruh sewaktu anak berada dalam kandungan, misalnya pengaruh gizi, penyakit dan lain-lain. Faktor bawaan dapat mempercepat, menghambat atau melemahkan pengaruh dari lingkungan. Tidak dapat dibandingkan anak yang satu dengan anak yang lain tanpa memperhitungkan faktor ini.
2.         Faktor lingkungan
Faktor dari luar diri anak yang mempengaruhi proses perkembangan anak, meliputi suasana dan cara pendidikan lingkungan tertentu, baik lingkungan rumah atau keluarganya dan hal lain seperti sarana dan prasarana yang tersedia, misalnya alat bermain atau lapangan bermain. Faktor lingkungan dapat merangsang berkembangya fungsi tertentu dari anak yang dapat menghambat atau mengganggu kelangsungan perkembangan anak. Pengaruh yang sangat besar dan sangat menentukan dirinya nanti ketika dewasa adalah ketika anak berusia dibawah 6 tahun, sehingga pada usia ini, lingkungan keluarga diharapkan dapat memperhatikannya.
Hakikat mengasuh anak adalah proses mendidik agar kepribadian anak
dapat berkembang dengan baik dan ketika dewasa menjadi bertanggung jawab. Pola asuh yang baik menjadikan anak berkepribadian yang kuat, tidak mudah putus asa dan tangguh menghadapi tekanan hidup. Sebaliknya pola asuh yang salah menjadikan anak rentan terhadap stres dan mudah terjerumus pada hal-hal yang negatif.
Mengasuh anak melibatkan seluruh aspek kepribadian anak, baik jasmani, intelektual, emosional, keterampilan, norma dan nilai-nilai. Hakikat mengasuh anak meliputi pemberian kasih sayang dan rasa aman, sekaligus disiplin dan contoh yang baik. Karenanya diperlukan suasana kehidupan keluarga yang stabil dan bahagia.
Cara mengasuh anak harus sesuai dengan tahap perkembangan.
Perkembangan anak sejak dalam kandungan sampai umur 6 tahun, merupakan pondasi dalam membentuk kepribadian anak. Kebutuhan perkembangan anak meliputi kebutuhan mental, emosional dan sosial. Perkembangan ini dibagi menjadi 4 tahap, tiap tahapan mempunyai ciri dan tuntutan perkembangan tersendiri. Dan cara mengasuh anak yang sesuai dengan perkembangan anak dibagi pula dalam 4 tahap, diantaranya sebagai berikut:
1.         Sejak dalam kandungan
Kesehatan anak di dalam kandungan dipengaruhi oleh keadaan kesehatan ibunya. Bila ibu sakit fisik (misalnya infeksi), maka anak dalam kandungan dapat tertular. Bila ibu stres, anak dalam kandungan juga dapat terpengaruh. Karena itu ibu perlu mempersiapkan diri dengan baik agar anak dalam kandungan, sehat fisik dan mentalnya. Ibu juga perlu menjaga pikiran dan perasaan supaya anaknya nanti tidak rewel dan mudah menyesuaikan diri.
Suara ibu adalah suara yang sering di dengar anak. Suara keras atau lembut ibu akan diikuti anak setiap waktu. Bapak dan ibu perlu menjaga percakapannya supaya anak terbiasa mendengarkan dan mudah meniru yang baik-baik nantinya. Ibupun harus tenang. Jika ibu sering cemas, sedih, ketakutan dan marah, maka setelah lahir anak bisa menjadi rewel, selalu gelisah dan sukar menyesuaikan diri.
2.         Sejak lahir sampai 1,5 tahun
Sejak lahir anak sepenuhnya bergantung pada orang lain terutama
ibu atau pengasuhnya. Anak perlu dibantu untuk mempertahankan hidupnya. Tahap ini untuk mengembangkan rasa percaya diri pada lingkungannya. Bila rasa percaya diri tidak dapat berkembang, maka timbul rasa tidak aman, rasa ketakutan dan kecemasan.
Bayi belum bisa bercakap-cakap untuk menyampaikan keinginannya. Tangisan pada bayi menunjukkan bahwa ia membutuhkan bantuan. Ibu harus belajar mengerti maksud tangisan bayi. ASI adalah makanan yang paling baik untuk bayi. Dengan pemberian asi, bayi akan di dekap ke dada sehingga merasakan kehangatan tubuh ibu dan terjalinlah hubungan kasih sayang antara bayi dan ibunya. Segala hal yang dapat mengganggu proses menyusui dalam hubungan ibu dan anak pada tahap ini akan menyebabkan terganggunya pembentukan rasa aman dan rasa percaya diri. Gangguan yang dapat timbul pada tahap ini adalah kesulitan makan, mudah marah, menolak sesuatu yang baru, sikap dan tingkah laku yang seolah-olah ingin melekat pada ibu dan menolak lingkungan.
3.         Usia 1,5 sampai 3 tahun
Tahap ini merupakan tahap pembentukan kebiasaan diri. Aspek
psikososialnya, anak bergerak dan berbuat sesuai kemauan sendiri, meraih apa yang bisa dijangkau dan dapat menuntut apa yang dikehendaki ataupun menolak apa yang tidak dikehendaki. Pada tahap ini, akan tertanam dalam diri anak perasaan otonomi diri seperti makan sendiri, pakai baju sendiri dan lain-lain. Hal ini menjadi dasar terbentuknya rasa yakin pada diri dan harga diri dikemudian hari.
Orang tua hendaknya mendorong agar anak dapat bergerak bebas,
menghargai dan meyakini kemampuannya. Jika terdapat gangguan dalam mencapai rasa otonomi diri, anak akan dikuasai rasa malu, ragu-ragu serta pengekangan diri yang berlebihan. Sebaliknya, dapat juga terjadi melawan dan berontak. Gangguan yang timbul pada tahap ini, anak sulit makan, suka ngadat dan ngambek, menentang dan keras kepala, suka menyerang atau agresif. Konsep ruang dan sebab akibat mulai berkembang. Mulai mengenal nama-nama di sekitarnya dan mulai menggolongkan serta membedakan benda berdasarkan kegunaannya. Bahasa mulai berkembang dan mulai menirukan kata-kata dan perilaku orang disekitarnya walaupun anak belum mengerti.
4.         Usia 3 sampai 6 tahun (prasekolah)
Dengan meningkatnya kemampuan berbahasa dan kemampuan
untuk melakukan kegiatan yang memiliki tujuan, anak mulai memperhatikan dan berinteraksi dengan dunia sekitarnya. Anak bersifat ingin tahu, banyak bertanya dan meniru kegiatan sekitarnya, melibatkan diri dalam kegiatan bersama dan menunjukan inisiatif untuk mengerjakan sesuatu tetapi tidak mementingkan hasilnya, mulai melihat adanya perbedaan jenis kelamin. Pada tahap ini, seorang ayah mempunyai peran yang penting bagi anak. Anak laki-laki merasa lebih sayang pada ibunya dan anak perempuan lebih sayang pada ayahnya. Melalui peristiwa ini anak dapat mengalami perasaan sayang, benci, iri hati, bersaing dan lain-lain. Ia dapat pula mengalami perasaan takut dan cemas. Dalam hal ini, kerjasama ayah dan ibu sangat penting artinya. Yang diperlukan anak seusia ini adalah melatih kemampuan fisik, kemampuan berfikir, mendorong anak bergaul dan mengembangkan angan-angan. Pada tahap ini, aspek intelektualnya mulai berkembang lebih nyata tentang konsep ruang dan waktu, mulai mengenal betuk-bentuk dua dan tiga dimensi, warna-warna dasar, simbol-simbol angka, matematika dan huruf. Gangguan yang dapat timbul pada tahap ini adalah masalah pergaulan dengan teman, pasif dan takut berbuat sesuatu, takut mengemukakan sesuatu serta kurang kemauan, masalah belajar dan merasa bersalah.

2.2    Pentingnya Menerapkan Disiplin pada Anak Prasekolah
Keyakinan bahwa anak-anak memerlukan disiplin dari dahulu sudah ada, tetapi terdapat perubahan dalam sikap mengenai mengapa mereka memerlukannya. Pada masa lampau, dianggap bahwa disiplin diperlukan untuk menjamin bahwa anak akan menganut standar yang telah ditetapkan dan harus dipatuhi agar anak tidak ditolak oleh masyarakat. Sekarang telah diterima bahwa anak membutuhkan disiplin bila mereka ingin bahagia dan menjadi orang yang baik penyesuaiannya. Melalui disiplinlah mereka belajar berperilaku dengan cara yang diterima masyarakat dan sebagai hasilnya mereka diterima oleh anggota kelompok sosial mereka. Disiplin diperlukan untuk perkembangan anak karena ia memenuhi beberapa kebutuhan tertentu. Dengan demikian, disiplin memperbesar kebahagiaan dan penyesuaian pribadi dan sosial anak. Beberapa kebutuhan masa kanak-kanak yang dapat diisi oleh disiplin antara lain:
-          Disiplin memberikan rasa aman dengan memberitahukan apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan.
-          Disiplin membantu anak menghindari perasaan bersalah dan rasa malu akibat perilaku yang salah. Perasaan yang pasti mengakibatkan rasa tidak bahagia dan penyesuaian yang buruk. Disiplin memungkinkan anak hidup menurut standar yang disetujui kelompok sosial dan dengan demikian memperoleh persetujuan sosial.
-          Dengan disiplin, anak belajar bersikap menurut cara yang akan mendatangkan pujian, yang akan ditafsirkan anak sebagai tanda kasih sayang dan penerimaan. Hal ini esensial bagi penyesuaian yang berhasil dan kebahagiaan.
-          Disiplin yang sesuai dengan perkembangan berfungsi sebagai motivasi bagi anak untuk mencapai apa yang diharapkan darinya.
-          Disiplin membantu anak mengembangkan hati nurani yang merupakan pembimbing dalam pengambilan keputusan dan pengendalian perilaku.
Secara psikososial, setiap anak memiliki kebutuhan dasar yang dapat dilayani melalui disiplin. Bahkan dapat dikatakan bahwa disiplin sesungguhnya adalah kebutuhan intrinsik dan kebutuhan ekstrinsik bagi perkembangan anak. Kebutuhan intrinsik artinya melalui disiplin anak dapat berpikir, menata dan menentukan sendiri tingkah laku sosialnya sesuai dengan tata tertib dan kaedah-kaedah tingkah laku dalam masyarakat. Sedangkan kebutuhan ekstrinsik artinya dalam kehidupannya, anak akan bertanya dan meminta petunjuk tentang arah tingkah lakunya. Disinilah disiplin berfungsi memberi penerangan agar tingkah laku anak tidak tersesat dan menimbulkan suasana hidup yang tidak menyenangkan bagi anak. Dengan adanya disiplin, anak akan memperoleh penyesuaian pribadi, sosial dan institusional yang lebih baik. Penyesuaian pribadi artinya anak dapat mengembangkan kemampuan pribadinya secara optimal dan mewujudkan kemampuan itu sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat. Penyesuaian sosial artinya anak dapat membangun hubungan dan interaksi sosial secara efektif berdasarkan aturan dan norma-norma sosial yang berlaku di lingkungannya. Penyesuaian institusional artinya anak dapat hidup dan menyesuaikan pertumbuhan diri dan interaksi sosialnya dengan syarat-syarat, aturan dan norma yang ditetapkan oleh institusi. Dalam hal ini, fungsi pokok disiplin adalah mengajar anak untuk menerima pengekangan yang diperlukan dan membantu mengarahkan anak ke jalur tingkah laku yang berguna dan dapat diterima secara personal, sosial dan institusional (Hurlock;1999:83).
Pentingnya disiplin ini sebanding dengan dampak disiplin yang cukup nyata. Adapun pengaruh disiplin ini pada anak meliputi beberapa aspek, misalnya:
1.      Pengaruh pada perilaku
Anak yang mengalami  disiplin yang keras, otoriter, biasanya akan  sangat patuh bila  dihadapan orang-orang dewasa, namun sangat agresif terhadap teman sebayanya. Sedangkan anak yang orang tuanya lemah akan cenderung mementingkan diri sendiri, tidak menghiraukan hak orang lain, agresif dan tidak sosial. Anak yang dibesarkan dengan disiplin yang demokratis akan lebih mampu belajar mengendalikan perilaku  yang salah dan mempertimbangkan hak-hak orang lain.
2.      Pengaruh pada sikap
Baik anak yang dibesarkan dengan cara disiplin otoriter maupun dengan cara yang lemah, memiliki kecenderungan untuk membenci orang yang berkuasa. Anak yang  diperlakukan dengan cara otoriter merasa mendapat perlakuan yang tidak adil. Sedangkan anak yang orang tuanya lemah merasa bahwa orang tua seharusnya memberitahu bahwa tidak semua orang dewasa mau menerima perilakunya. Disiplin yang demokratis  akan menyebabkan kemarahan sementara, tetapi kemarahan ini bukanlah kebencian. Sikap-sikap yang terbentuk sebagai akibat dari metode pendidikan anak yang cenderung menetap dan bersifat umum, tertuju kepada semua orang yang berkuasa.
3.      Pengaruh pada kepribadian
Semakin banyak anak  diberi hukuman fisik, semakin anak menjadi keras  kepala dan negativistik. Ini memberi dampak penyesuaian pribadi dan sosial yang buruk, yang juga memberi ciri khas dari anak yang dibesarkan dengan disiplin yang lemah. Bila anak dibesarkan dengan disiplin yang demokratis, ia akan mampu memiliki penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial yang terbaik.
 Persepsi yang sering keliru adalah pengertian istilah pemberian hadiah.  Kadang orang tua beranggapan bahwa memberikan hadiah selalu berupa mainan, permen, coklat atau hadiah lain yang berupa benda. Sebenarnya hadiah juga dapat berupa bukan benda, misalnya berupa pengakuan atau pujian pada anak. Para orang tua yang menggunakan cara disiplin demokratis, tidak mau banyak memberi hadiah berupa benda. Mereka  khawatir  hal ini akan memanjakan anak atau takut cara ini dianggap sebagai bentuk penyuapan  yang merupakan teknik disiplin yang buruk. 
 Pelanggaran berupa bentuk ringan dari ketidaktaatan pada aturan atau perbuatan yang keliru sangat sering terjadi pada masa prasekolah. Pelanggaran ini disebabkan oleh tiga hal. Pertama, ketidaktahuan anak bahwa perilakunya itu tidak baik atau tidak dibenarkan. Anak mungkin saja sudah diberi tahu berulang kali dan ia pun hapal kata-kata aturannya itu, tetapi ia tidak mengerti konsep yang dikandung dari aturan itu dan kapan ia harus menerapkannya. Sebagai contoh, anak bisa mengerti bahwa mencuri adalah tidak boleh, tetapi ia belum tentu tahu bahwa mencontek juga termasuk mencuri.
 Hal kedua yang juga sering menjadi penyebab anak melanggar aturan adalah anak belajar untuk sengaja tidak patuh dalam hal-hal yang kecil untuk mendapatkan perhatian yang lebih besar daripada perilaku yang baik. Jadi terkadang anak yang merasa diabaikan, demi menarik perhatian orang tuanya, ia sengaja berbuat salah dengan harapan akan memperoleh perhatian lebih. Dan ketiga, pelanggaran dapat disebabkan oleh kebosanan. Bila anak tidak memiliki kegiatan untuk mengisi waktu luang, maka kadang kala anak ingin membuat kehebohan. Atau bisa juga, ia hendak menguji  kekuasaan orang dewasa dengan melihat seberapa jauh ia dapat melakukan sesuatu tanpa dihukum.

2.3    Langkah - Langkah Menerapkan Disiplin pada Anak Prasekolah
Orang tua dan guru selalu memikirkan cara yang tepat untuk menerapkan disiplin bagi anak sejak mereka balita hingga masa kanak-kanak dan sampai usia remaja. Tujuan disiplin adalah mengarahkan anak agar mereka belajar mengenai hal-hal baik yang merupakan persiapan bagi masa dewasa, saat mereka sangat bergantung kepada disiplin diri. Diharapkan, kelak disiplin diri akan membuat hidup mereka bahagia, berhasil dan penuh kasih sayang.
Rasa senang melihat keberhasilan anak dan kekecewaan melihat sikap buruk anak merupakan alat paling efektif dalam menerapkan disiplin pada anak. Orang tua yang realistis menyadari, ada kalanya mereka perlu meninggikan nada suara serta bersikap tegas dalam memberikan batasan kepada anak agar rasa percaya diri bisa tumbuh dalam diri anak. Dalam teknik disiplin yang orang tua terapkan, harus selalu ada penekanan positif.
Kapan dan bagaimana cara menerapkan disiplin sangat bervariasi, bergantung pada tahap perkembangan dan temperamen masing-masing anak. Norma-norma yang berlaku dalam keluarga menentukan arah perkembangan anak, susunan genetik saat anak lahir juga sangat menentukan temperamen, besarnya energi serta kemampuan anak. Tentu saja lingkungan sekolah, teman dan saudara juga memberi pengaruh disiplin anak seiring dengan bertambahnya usia mereka. Meskipun demikian, ada penerapan disiplin yang berlaku umum, yang berlaku bagi semua usia dan kepribadian. Prioritas utama orang tua adalah mendidik anak secara positif; kedua, bersikap tegas jika sesekali anak memberontak.
Disiplin dimulai sejak anak mulai merangkak atau usia balita. Lebih baik orang tua membuat benda-benda di dalam rumah aman bagi anak-anak daripada orang tua harus selalu menepuk tangan dan berkata “jangan” setiap kali anak menyentuh sesuatu. Tentu saja kita tak dapat membuat seluruh ruangan benar-benar aman bagi anak. Hingga anak berusia dua tahun. Anda dapat menerapkan disiplin dengan mengatakan “jangan” atau kata-kata seperti “awas”, “panas”, disertai nada sedikit tinggi dan serius serta mengalihkan perhatian anak dengan mainan. Ketika anak menggigit atau memukul, orang tua dapat mendidiknya dengan mengatakan “jangan” dan sambil menepuk-nepuk atau memeluk dengan mengatakan “bagus”. Jika ini tidak berhasil, orang tua dapat menyetrapnya dalam boks bayi atau kamar untuk jangka waktu yang pendek.
Disiplin dan kebebasan merupakan hal yang tak terpisahkan satu sama lain. Pendekatan orang tua dalam menegakkan disiplin terhadap anak akan sangat mempengaruhi kebebasan mereka dalam bersikap. Jika terlalu dini orang tua telah bersikap kaku, anak kelak bisa menjadi penakut dan tak berani berekspresi. Kalau orang tua bersikap negatif dan banyak menghukum, itu akan membuat anak menjadi pemarah dan agresif. Jika terlalu banyak memberikan kebebasan, akan mengarahkan anak menjadi impulsif dan terlibat pergaulan bebas pada saat remaja. Kalau anak dibiarkan mengambil keputusan seperti orang dewasa terlalu dini, ia tak akan melakukannya dengan bijak dan kelak akan menyesali hal tersebut. Jika pada awalnya orang tua terlalu memberikan kebebasan dan kemudian berusaha memegang kendali karena merasa anak terlalu bebas, maka ini akan membuat anak menjadi remaja pemberontak.
Bila kita mendisiplinkan anak-anak, kita sebetulnya sedang mengajar mereka dua hal: melakukan perbuatan yang baik dan menghindari perbuatan yang tidak baik. Sangat sedikit orang yang mengetahui hal ini dengan jelas. Kebanyakan orang menganggap disiplin sebagai “suatu yang negatif” yaitu sesuatu yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya agar dia bertingkah laku yang baik. Mereka tidak menyadari bahwa disiplin adalah suatu proses belajar yang berlangsung sepanjang waktu.
Dalam membicarakan disiplin, mempertimbangkan umur anak itu penting. Sungguh mengherankan bahwa umur tidak pernah disebut dalam banyak teori tentang disiplin. Namun jelas, bahwa orang tua tidak akan mengajar tingkah laku yang baik kepada seorang anak yang berumur dua setengah tahun, memakai cara yang sama dengan cara ketika mengajar kepada seorang anak yang berumur delapan atau lima belas tahun.
Kenyataan bahwa beberapa anak lebih mudah atau lebih sukar untuk dididik daripada lainnya, semata-mata disebabkan oleh temperamen biologis bawaan mereka. Teknik disiplin yang dapat diterapkan dengan mudah pada anak yang gampang dididik, mungkin akan gagal secara tragis bila diterapkan pada seorang anak yang sukar dididik. Orang tua perlu menemukan kombinasi strategi mendidik yang tepat untuk mengajar tingkah laku yang baik kepada anak yang unik itu.
Ada berbagai macam bentuk umum mendisiplinkan anak-anak dan remaja, antara lain :
1.      Disiplin Otoriter
Adalah bentuk disiplin yang tradisional yang berdasar pada ungkapan kuno “menghemat cambukan berarti  memanjakan anak”. Pada model disiplin ini, orang tua atau pengasuh memberikan anak peraturan-peraturan dan anak harus mematuhinya. Tidak ada penjelasan pada anak mengapa ia harus mematuhi dan anak tidak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya tentang aturan itu. Anak harus mentaati peraturan itu, jika tidak mau dihukum. Biasanya hukuman yang diberikan pun agak kejam dan keras karena dianggap merupakan cara terbaik agar  anak tidak melakukan pelanggaran lagi di kemudian hari. Seringkali anak  dianggap sudah benar-benar mengerti aturannya dan ia dianggap sengaja melanggarnya, sehingga anak tidak perlu diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya lagi. Jika anak melakukan sesuatu yang baik, hal ini juga dianggap tidak perlu diberi hadiah lagi, karena sudah merupakan kewajibannya. Pemberian hadiah malah dipandang dapat mendorong anak untuk selalu mengharapkan adanya sogokan agar melakukan  sesuatu yang  diwajibkan masyarakat.
2.      Disiplin yang lemah
Disiplin model ini biasanya timbul dan berkembang sebagai kelanjutan dari disiplin otoriter yang dialami orang dewasa saat ia anak-anak. Akibat dahulu ia tidak suka diperlakukan dengan model disiplin yang otoriter,  maka ketika ia memiliki anak, dididiknya dengan cara yang sangat berlawanan. Menurut teknik disiplin ini, anak akan belajar  bagaimana  berperilaku dari setiap akibat perbuatannya itu sendiri. Dengan demikian anak tidak perlu diajarkan aturan-aturan, ia tidak perlu dihukum bila salah, namun juga tidak diberi hadiah bila berperilaku sosial yang baik. Saat ini bentuk disiplin ini mulai ditinggalkan karena tidak mengandung 3 unsur penting disiplin.
3.      Disiplin Demokratis
Disiplin jenis ini, menekankan hak anak untuk mengetahui mengapa aturan-aturan dibuat dan memperoleh kesempatan untuk mengemukakan  pendapatnya sendiri bila ia menganggap bahwa peraturan itu tidak adil. Walaupun anak masih sangat muda, tetapi daripadanya tidak diharapkan kepatuhan yang buta. Diupayakan agar anak memang mengerti alasan adanya aturan-aturan itu dan mengapa ia diharapkan mematuhinya. Hukuman atas pelanggaran yang dilakukan, disesuaikan dengan tingkat kesalahan dan tidak lagi dengan cara hukuman fisik. Sedangkan perilaku sosial yang baik dan sesuai dengan harapan, dihargai terutama dengan pemberian pengakuan sosial dan  pujian.
Dengan adanya penjelasan mengenai jenis disiplin, orang tua tentu dapat mengetahui langkah apa saja yang dapat diambil untuk menerapkan disiplin bagi anak prasekolah. Adapun langkah-langkah tersebut adalah:
1.      Memastikan bahwa perbuatan baik mendapatkan hadiah sedangkan perbuatan buruk mendapat sanksi.
Kedengarannya mudah dan biasa. Kita sering kali merasa malu dan terganggu ketika anak merengek-rengek meminta mainan saat kita berbelanja. Dengan terpaksa kita mengabulkan permintaan anak. Padahal dari peristiwa ini, anak belajar bahwa jika ia merengek pada saat berbelanja maka ia akan mendapatkan hadiah, sementara jika ia bertingkah manis ia tidak mendapat apa-apa. Begitu juga saat anak melakukan atau mengatakan sesuatu hal yang buruk. Terkadang perkara buruk yang anak-anak lakukan akan mendapat perhatian dari orang dewasa sehingga anak merasa bahwa jika ia melakukan hal yang sama maka ia akan merebut perhatian orang dewasa. Jadi pastikan anda tegas dengan tingkah laku baik dan buruk anak dan berikan pengukuhan atas tingkah laku yang baik. Seterusnya berikan denda atau sanksi untuk perbuatan yang buruk, mengikut peringkat umur yang sesuai.
2.      Berhemat dengan kata larangan.
Jangan terlalu banyak menggunakan kata "tidak" dan "jangan". Berhematlah dengan kata "tidak" dan "jangan". Usahakan agar kata ini hanya digunakan untuk hal-hal yang penting, darurat dan tidak boleh ditafsirkan lain. Anak-anak pada dasarnya memang aktif dan senantiasa ingin selalu mencoba melakukan sesuatu yang baru. Berikan kata positif, misalnya "Coba, mari ibu tunjukkan bagaimana Umar boleh tolong ibu mencuci motor ibu" dibandingkan dengan "Umar, jangan sembarangan mencuci motor ibu, nanti tergores". Anak tidak suka dilarang melakukan sesuatu dan tidak mengerti maksud dengan "sembarangan". Berikan arahan yang jelas dan positif, agar anak-anak berani dan paham dengan jelas apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Gunakan kata “tidak” dan “jangan” untuk perkara-perkara yang jelas, yang perlu dipatuhi, misalnya "Umar tidak boleh main pisau, ya!". Jangan memberikan aturan yang abstrak dan tidak dipahami anak. Kalimat "Jangan nakal!" terdengar sangat abstrak dan tidak ada artinya bagi anak. Begitu juga dengan, "Jangan buat ibu marah, ya!". Sementara anak tidak tahu apa saja yang membuat ibunya marah. Tetapi katakan dengan jelas apa yang orang tua kehendaki untuk kebaikannya.
3.      Selalu memberikan alasan yang baik dan masuk akal.
Hindari pernyataan yang berisikan kata "pokoknya". Kecuali hal-hal yang
bersifat darurat. Untuk situasi darurat, penjelasan akan diberikan kemudian. Penjelasan memberikan anak ruang untuk berpikir sendiri sehingga lain waktu anak dapat menerapkan hal yang sama dengan pengalaman yang lalu. Misalnya, "Umar, simpan tukul itu ditempatnya!" Maka Umar akan bertanya-tanya mengapa? Apakah tukul itu kotor? Berbahaya? Mudah pecah? Atau apa? Jika kita menjelaskan bahwa tukul itu kepunyaan tukang yang sedang memperbaiki jendela, maka lain kali anak akan melakukan hal yang sama (mengembalikan barang yang bukan miliknya).
4.      Berikan kepercayaan kepada anak.
Anak tidak akan tumbuh dan berkembang dengan baik jika terus-menerus
diawasi dengan ketat. Ada saat-saat tertentu kita harus membiarkan anak berusaha sendirian. Misalnya, biarkan anak bergaul dengan lingkungannya dengan terus-menerus mengingatkan ia untuk tidak lupa mengucapkan salam, terima kasih, maaf dan sebagainya. Biarkan anak berani menyapa, bertamu sendirian dan lain sebagainya. Tindakan ini akan memberikan ruang untuk menumbuhkan rasa percaya diri anak dan memberikan kesempatan agar anak bertanggung jawab terhadap segala tindakannya.
5.      Konsisten dengan prinsip-prinsip kita.
Jika kita menginginkan anak patuh pada aturan, maka kita harus konsisten juga untuk patuh pada peraturan. Sekecil apapun peraturan tersebut.
Kita mengajarkan anak untuk membuang sampah pada tempatnya, maka di manapun kita berada, kita harus memberikan contoh dengan membuang sampah pada tempatnya. Begitu juga dengan kesepakatan antar orang tua. Jangan sekali-sekali menunjukkan kepada anak bahwa ayah ibunya bertengkar, terutama berdebat dalam masalah disiplin anak-anak. Jika ada perbedaan pendapat, ayah dan ibu harus menyelesaikannya di tempat yang tidak dilihat dan didengar anak atau menangguhkan perdebatan. Tunjukkan bahwa kita adalah orang tua yang dihormati dan tidak ada yang lebih patut dipatuhi atau disegani. Sebab pada beberapa keadaan, anak lebih takut pada figur ayah sehingga jika ayah memberikan nasihat kepada anak, tidak ada yang berani membangkang.
6.      Memastikan bahwa apa yang diharapkan cukup masuk akal.
Setiap anak memiliki kemampuan dan pemahaman yang berbeda, pada usia yang berbeda pula. Oleh karena itu, peraturan dan disiplin yang diterapkan pada anak harus disesuaikan dengan kemampuan dan usia anak. Anak usia kecil mungkin belum dapat diberi peraturan membawa sendiri piring dan gelasnya ke dapur sesudah makan. Tapi mereka cukup patut diberi penghargaan jika mau makan tanpa disuap. Keadaan ini tentu tidak sama dengan kakaknya yang sudah duduk di Taman Kanak-kanak atau Sekolah Dasar.
7.      Berbicara kepada anak dengan cara yang baik, tidak dengan merendahkan harga diri anak, memaki atau berteriak.
Anak-anak mestinya memiliki perasaan yang halus. Makian, bentakkan dan kata-kata yang kurang mempertimbangkan harga diri anak akan mencederai hati mereka. Mereka akan sangat sedih dan terluka. Peristiwa ini akan memberi bekas yang mendalam hingga mereka dewasa.
8.      Biarkan anak memikul konsekuensi dari perbuatannya.
Ajarkan anak tentang konsekuensi dan tanggung jawab. Ketidakmampuan anak untuk memperbaiki keadaan bukanlah alasan untuk melepaskan anak dari tanggung jawab. Misalnya, Umar marah dan membuang gelas yang berisi susu ke lantai, maka biarkan Umar memikul konsekuensinya dengan menyuruhnya membersihkan tumpahan susu tadi. Mungkin Umar masih belum dapat membersihkan lantai dengan bersih, namun paling tidak ia harus merasakan akibat dari perbuatannya. Setelah Umar membersihkan seadanya, barulah kita menyempurnakan pekerjaan Umar tadi. Jangan sekali-kali mengambil alih pekerjaan membersihkan lantai dan membiarkan Umar tidak melakukan apa-apa. Masalah ini juga perlu disosialisasikan kepada seluruh anggota keluarga, terutama para pembantu rumah tangga. Larang mereka untuk mengambil alih tugas dan tanggung jawab yang telah dijatuhkan kepada anak-anak kita.
9.      Penerapan konsekuensi harus dilakukan secepat mungkin.
Jika anak berbuat salah, penerapan konsekuensinya harus dilakukan secepat mungkin dan tepat kepada sasarannya. Misalnya, Umar memukul temannya. Maka secepat mungkin setelah Umar melakukannya, kita harus langsung menegur dengan tegas. Sebutkan perbuatan yang kita tegur dan berikan hukumannya segera. Jika tidak, anak akan merasa bahwa perkara buruk yang telah dilakukannya adalah dibolehkan atau diterima. Jika hukuman lambat diberikan, anak akan segera melupakan peristiwa itu, sehingga ketika hukuman dijatuhkan, anak akan bingung dan merasa diperlakukan tidak adil.
Disiplin dimulai dari rumah sejak usia muda. Masalah-masalah contoh diatas ternyata dapat membentuk sifat kedisiplinan pada anak. Jadi, tergantung bagaimana kita memperlakukan mereka.



BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1    Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa hakikat mengasuh anak adalah proses mendidik anak agar kepribadiannya
dapat berkembang dengan baik dan ketika dewasa menjadi bertanggung jawab. Pola asuh yang baik menjadikan anak berkepribadian yang kuat, tidak mudah putus asa dan tangguh menghadapi tekanan hidup. Sebaliknya pola asuh yang salah menjadikan anak rentan terhadap stres dan mudah terjerumus pada hal-hal yang negatif.
Salah satu pola asuh yang baik pada masa kini adalah penerapan kedisiplinan bagi anak prasekolah. Tujuan utamanya adalah untuk memberitahu dan menanamkan pengertian dalam diri anak tentang perilaku mana yang baik dan mana yang buruk dan untuk mendorongnya memiliki perilaku yang sesuai dengan standar ini. Dalam disiplin, ada tiga unsur yang penting, yaitu norma atau peraturan yang berfungsi sebagai pedoman penilaian, sanksi atau hukuman bagi pelanggaran peraturan itu dan hadiah untuk perilaku atau usaha yang baik.
Untuk anak yang masih dalam usia prasekolah, yang harus ditekankan adalah aspek pendidikan dan pengertian dalam disiplin. Seorang anak yang masih usia pra sekolah ini, diberi hukuman hanya kalau memang terbukti bahwa ia sebenarnya mengerti apa yang diharapkan. Dan terlebih, bila ia memang sengaja melanggarnya. Sebaliknya bila saat ia berperilaku sosial yang baik ia diberikan hadiah, biasanya ini akan meningkatkan  keinginannya  untuk lebih banyak belajar berperilaku yang baik.

3.2    Saran
Dari kesimpulan diatas penulis ingin memberikan saran. Sesibuk apa pun orang tua, berusahalah untuk tetap memberikan pola asuh yang baik untuk anak, terutama pada usia prasekolah. Sebab perkembangan anak sejak dalam kandungan sampai umur 6 tahun, merupakan pondasi dalam membentuk kepribadian anak. Dan dalam menanamkan disiplin pada anak, sebaiknya dengan penuh kesabaran dan pengertian dari para orangtua. Itu adalah hal yang sangat penting dalam proses pembelajaran disiplin anak. Hal ini disebabkan karena pada waktu orang tua mengajarkan dan menanamkan disiplin, anak belum mengerti dan memahami tentang disiplin. Untuk itu mereka harus memperhatikan tingkat perkembangan anak. Menggunakan pendekatan disiplin positif akan menciptakan atmosfir yang positif dan akan menghasilkan disiplin diri anak yang kondusif.
DAFTAR PUSTAKA

Annisa. 2011. Menanamkan Kedisiplinan Pada Anak Usia Prasekolah. (Online). http://ichacha-ichadudul.blogspot.com diakses pada 26 Desember 2011.

Anonim. 2011. Efek Pola Asuh Terhadap Kepribadian Anak. (Online). http://papadjojo.blogspot.com diakses pada 26 September 2011.

Dodson, Fitzhugh. 2006. Mendisiplinkan Anak dengan Kasih Sayang. Jakarta: Gunung Mulia.

Kyan. 2010. Melatih Anak Disiplin. (Online). http://bersamakyan.blogspot.com diakses pada 27 September 2011.

Leman, Martin. 2000. Disiplin Anak. (Online). http://leman.or.id diakses pada 26 September 2011.

Rimm, Sylvia. 2003. Mendidik dan Menerapkan Disiplin Pada Anak Prasekolah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.










6 komentar: